Hak cipta termasuk jenis hak
kekayaan intelektual tetapi hak cipta berbeda dengan hak kekayaan intelektual
lainnya. Perbedaan ini dapat dilihat dari devinisi hak cipta, pengertian dari
hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk
memperbanyak ciptaannya dan memberikan perizinan, dengan
tidak menyimpang dari batasan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta adalah seorang yang memiliki inspirasi melahirkan
sesuatu ciptaan dengan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan,
atau keahlian penciptanya yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi. Ciptaan adalah hasil karya pencipta yang berupa karya seni,
ilmu pengetahuan, dan sastra.
Masa berlaku perlindungan hak
cipta di negara indonesia adalah seumur hidup penciptanya jika sang pencipta
yang memiliki hak cipta sudah meninggal dunia maka berlaku 50 tahun sesudahnya.
Orang yang berhak mewarisi hak cipta tersebut adalah keluarga yang memegang
ahli waris dari pencipta. (UU 19/2002 bab III dan pasal 29)
Suatu hukum atas sebuah
pelanggaran hak cipta biasanya dalam hukum perdata, dan hukum pidana. Sanksi
pidana secara umum dikenakan kepada pelanggaran pemalsuan hak cipta. Sanksi
pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman
penjara paling sebentar selama satu bulan dan paling lama diancam hukuman
pidana penjara tujuh tahun. Denda yang dikenakan pada pelanggaran hak cipta
paling sedikit sebesar Rp 1.000.000,00 atau paling banyak sebesar Rp
5.000.000.000,00. Suatu karya yang telah
melanggar hak cipta maka akan di tahan oleh negara untuk dimusnahkan. (UU
19/2002 bab XIII dan pasal 72)
Contoh
pelanggaran Hak Cipta yaitu yang dilakukan oleh negara Malaysia. Setelah gagal
mengklaim lagu Rasa Sayange, Malaysia mencoba mengklaim kesenian lain yaitu
kesenian rakyat Jawa Timur: Reog Ponorogo yang diklaim Malaysia sebagai
kesenian mereka. Kesenian Wayang Kulit yang mereka klaim tidak mengubah nama
“Reog”, mungkin karena diikuti nama daerah Ponorogo maka namanya diubah menjadi
“Tarian Barongan”. Padahal wujud Reog itu bukan naga seperti Barongsai tapi
wujud harimau dan burung merak yang sama seperti Reog Ponorogo. Malaysia
kesulitan mencari nama baru sehingga memilih yang mudah saja, yaitu Tarian
Barongan. Bukan itu saja, kisah dibalik tarian itupun diubah. Hal ini sama
seperti ketika Malaysia mengubah lirik lagu Rasa Sayange. Kalau saja mereka
menyertakan informasi dari mana asal tarian tersebut maka tidak akan ada yang
protes. Padahal apa susahnya mencantumkan nama asli dan bangsa pemiliknya. Seperti
yang mereka lakukan pada kesenian Kuda Kepang yang kalau di Indonesia lebih
dikenal dengan nama Kuda Lumping. Malaysia mencantumkan nama asal kesenian Kuda
Kepang dari Jawa. Kenapa tidak dilakukan pada kesenian yang lain seperti Reog
Ponorogo, Wayang Kulit, Batik, Angklung, Rendang dan lain-lain.
Sumber: